Seperti yang sudah kita ketahui sebelumnya, sejak bulan Februari, Impor film Hollywood di-stop oleh Bea Cukai Indonesia. Berbagai opini pun berkembang. Ada pihak yang menganggap bahwa MPA selaku distributor utama film-film box office dari studio-studio besar Hollywood menolak membayarkan bea masuk atas hak distribusi film impor, Pihak 21 selaku importir yang tidak bertanggungjawab atas pajak tersebut hingga pihak pemerintah yang terlampau aneh dengan membuat regulasi yang inkonsisten.
Lalu sebenarnya bagaimana kejadian yang sebenarnya? seperti kita ketahui juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik pernah mengatakan bahwa dalam waktu dekat film-film impor akan kembali tayang di bioskop Indonesia(Sumber) meski akhirnya dibantah langsung oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo.(sumber) Jika pemerintah saja masih tidak sepakat, penyelesaian seperti apa yang dapat diharapkan?
Untuk itu saya meminta tanggapan dari salah seorang blogger yang concern pada perkembangan industri film Indonesia. Marvel Sutantio, Pencetus weblog IndonesianMovieCrisis. Berikut penjelasannya.
Apa yang terjadi dengan masalah impor film di Indonesia ini?
Menurut saya tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti apa yang sebenarnya terjadi di balik layar.
Aksi di belakang layar?
Iya, soal “dibalik layar” menurut saya kedua-duanya (21 & Dirjen Pajak) mungkin sama-sama salah. Tapi dalam kasus kali ini, yang faktanya lebih jelas terpampang adalah pihak DIrjen Pajak / Pemerintah yang salah or lalai, karena:
- PER 33 2009 yang jelas-jelas merugikan, tumpang tindih dengan bea lain & tidak ada aturan serupa di negara belahan dunia manapun.
- TIdak adanya sosialisasi, pemberitahuan ke publik, atau penegasan PER 33 2009 tersebut sejak pembuatannya 2 tahun yang lalu.
- Ketidak konsisten-an Jero Wacik, Agus Martowardojo, Pihak Dirjen Pajak serta orang-orang pemerintah dalam memberikan penjelasan mengenai UU apa yang dilanggar
- MPA sendiri menyatakan tidak memboikot dan mengakui kalau Indonesia (21 & Distributor) sudah mengikuti aturan yang berlaku selama bertahun-tahun
- Audit dan pemeriksaan pajak yang “tertunda”. Waktu memang relatif, tidak ada angka pasti, tapi kalau benar dr 2009, apa saja yang dilakukan DIrjen Pajak selama ini?
Tidak ada asap tanpa api. MPA menyetop distribusi film karena Distributor di Indonesia tidak bisa/dilarang mengimpor.
Menurut saya MPA tidak mau dan tidak bisa mengimpor karena selain 2 distributor resminya (Camilla Internusa & Satrya Perkasa) tersandung masalah piutang, PER 33 2009 (pdf) yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak juga sangat merugikan, karena menurut Peraturan Dirjen Pajak tersebut, pemegang hak cipta + distributor entah harus membayar semua revenue dari penayangan berbasis waktu atau ketentuan tertentu, atau 10% dari keuntungan penayangan normal. Hal ini didukung dengan fakta bahwa MPA sendiri membantah memboikot film ke Indonesia. Mereka malah mengakui kalau selama bertahun-tahun Indonesia (dan tentunya 2 pihak yang merupakan distributor resmi mereka) sudah mengikuti aturan yang berlaku. (sumber)
Kenapa Distributor Indonesia Dilarang? karena mereka tidak membayar/menangguk pembayaran pajak sejak pertengahan 90-an?
Ini yang menjadi misteri juga, isu ini sudah muncul sejak awal krisis film ini dimulai. Bisa saja memang kenyataannya begitu, bisa juga cuma isu yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengubah pandangan masyarakat ke 21 Cineplex, menyudutkan mereka dan menempatkan mereka sebagai pihak yang bersalah. Nah, kalau memang benar mereka tidak membayar selama belasan tahun sekalipun, pertanyaan paling utama, kenapa pihak aparat, Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan tidak mempermasalahkan hal tersebut hingga sekarang ini? Apa ada bukti audit, laporan pajak, dll yang menunjukkan secara eksplisit claim tersebut? BIla ada, harusnya ini sudah menjadi kasus perdata tingkat nasional.
Mereka sudah seharusnya ditindak secara hukum, dimasukan penjara, disidang dll. Bukan malah bernegosiasi segitu lama dari januari hingga juli sekarang. Katakanlah mereka menyuap pihak aparat supaya tidak ditangkap. Berarti memang maaf-maaf kata, pihak aparat, Dirjen Pajak & Kementerian Keuangan RI kita tidak kalah korupnya. Menurut saya intinya kedua pihak belum tentu, dan kemungkinan sama-sama “tidak baik”. Tinggal siapa yang lebih berani saja.
Kenapa baru ditagih sekarang?beredar kabar 3 distributor utama memiliki hubungan khusus dengan pemerintah ORBA. sehingga disaat pemerintah sekarang, mereka ditagih.
Menurut saya, kalau memang mereka mau menagih di pemerintahan sekarang, mereka sudah menagih sejak Pak SBY menjadi presiden tahun 2009 kemarin, betul bukan? Kenyataanya baru awal januari kemarin mereka menagihnya. Andaikata benar karena meninggalnya Almarhum Bapak Sudwikatmono, apa saja yang dilakukan oleh Dirjen Pajak & Kementrian keuangan selama 2 tahun terakhir ini? Almarhum Soeharto saja bisa disidang dan dikasus dulu, tapi mengapa pihak 21 tidak dikasus juga? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini yang tidak akan bisa didapatkan dengan jelas jawabannya.
Kenapa Distributor tidak membayar saja? Karena Jumlahnya besar, mereka tidak mau rugi juga.
Menurut saya selain jumlahnya besar, “utang” itu “diciptakan” dari hasil audit yang dilakukan pihak Dirjen Pajak. Kalau mereka mengaudit pendapatan 21 Cineplex dengan PER 33 2009 tersebut, tidak heran kalau tiba-tiba muncul “utang” dan denda karena kelalaian membayar hutang dengan total hingga 314 triliun rupiah.
Mungkin saya terkesan seperti membela pihak 21 Cineplex dan distributornya, tapi dalam hal ini saya rasa anda pun harus akuin kalau memang pihak Dirjen Pajak juga memiliki andil tidak baik dalam seluruh krisis film ini. PER 33 2009 saja sudah merupakan fakta paling utama. Karena mereka masih menginginkan hasil keuntungan dari profit pihak cinema, walaupun pihak pemerintah sudah menerima pajak bea 23.75%. 10% lagi untuk pemerintah dan 10-15% untuk pemerintah daerah atas dasar pajak penghasilan dari penjualan tiket. That’s obviously too much tax on a single item or rights, don’t you think?
Berarti Masyarakat yang harus menanggung Pajak tersebut?
Soal pihak penonton yang menanggung, menurut saya itu tidak terhindarkan. Kalau pihak pemerintah tetep kekeuh, bersikeras mengenakan pajak besar itu, maka pihak penonton pasti yang akan menanggung. Bukan pihak pemegang hak cipta or 21 Cineplex sendiri. Saya juga berharap pemerintah mau consider ulang dalam menetapkan pajak yang tinggi tersebut, karena meski MPA setuju sekalipun, beban pajak itu pasti akan jatuh juga ke masyarakat. Jujur saja saya lebih rela bayar pajak dalam negeri mahal ketimbang harus ke Singapur bela2in hanya demi nonton film. Ngapain juga kasih duit ke negara tetangga? Gitu aja sih.
Berat tapi benar adanya. Ditulis oleh Pak Noorca M Massardi sendiri (sumber) : Pihak Hollywood, MPA dll bisa-bisa saja tetap memasukan film ke Indonesia, tapi tentu saja semua beban pajak yang tinggi itu pasti akan dibebankan ke masyarakat. Sekarang saja banyak yang cukup berduit pergi ke Singapura, bela-belain demi menonton film. Dan nampaknya persepsi film adalah komoditi mahal itu akan segera ada di Indonesia. Kenyataan pahit yang bagaimanapun harus kita hadapi bersama.
How the Indonesian movie industry was brought down by greedy tax & customs officials ~ Indonesianmoviecrisis
Begitulah isi tanggapan dari Marvel Sutanto. Nah dengan membaca percakapan singkat diatas anda semua sudah mengerti dengan yang terjadi sekarang? Semoga ini memberikan sedikit pencerahan atas kebingungan Moviegoers akan kabar-kabar yang berkembang diluar sana.
Terima Kasih.
Original Article can be found here:
http://indonesianmoviecrisis.org/2011/06/21/update-about-hollywood-movie-import/
Dalam blog Marvel Sutatntio saya sudah memberikan tanggapan sbb:
BalasHapusUntuk Marvel, hal sederhana yang bisa dibayangkan dari penerapan pajak royalty tersebut adalah apabila Mr. X baru pulang dari Italia dengan membawa sebuah lukisan baru buatan Suparman Da Vinci. Mr. X membelinya dengan harga $1000. Harga bahan dasar pembuatan lukisan itu tidaklah seberapa, karena hanya dibutuhkan kanvas dan cat minyak. Yang membuat harganya menjadi mahal ada niali karya cipta si pelukis.
Ketika sampai di Indonesia, Mr. X dapat melaporkan biaya bea masuknya dengan dua cara, yakni:
1. Hanya melaporkan harga bahan dasar kanvas dan cat minyaknya, yang menyebabkan bea masuk menjadi murah.
atau
2. Melaporkan harga asli saat dia beli ($1000) akibat nilai karya ciptanya si pelukis. Ini akan berakibat bea masuk ayng dibayarkan akan tinggi.
Ketika dia menjual kembali lukisan tersebut bisa saja harga di Jakarta akan jatuh lebih tingi lagi dari $1000 sehingga menghasilkan keuntungan berlipat buat pemiliknya.
Melihat dua hal di atas, maka dirancanglah suatu skema “Pajak Royalty” sehingga terjadi pembagian keuntungan yang proporsional antara importir (pemilik lukisan) dan negara.
Itulah gambaran sederhana dari situasi saat ini. Apa yang dilakukan oleh Camilla, Satrya dan Amero adalah melakukan impor film (produk yang memiliki karya cipta), namun hanya membayar bea masuk impor bahan bakyu filmnya, yakni pita seluloid. Ini sama dengan melakukan skema pembayaran seperti no 1 di atas. Saat ini materi pita seluloid dikenakan bea masuk $0.43/meter.
Dapatkah anda bayangkan bahwa kedepannya bioskop tidak lagi menggunakan pita seluloid, namun digital. Dalam hal ini tidak ada lagi hitungan per-meter tersebut. Jika tetap mengadandalkan dengan aturan yang alma maka negara akan semakin kecil mendapatkan bagian. Untungnya aturan yang baru merubah perhitungan dari panjang (meter) menjadi (durasi (menit).
Di situlah alasannya kenapa pajak royalty tersebut diperlukan. Mungkin akan ada yang bertanya bukankah sudah ada pajak (retribusi) hiburan. Memang benar ada, namun itu adalah jarah dari pemerintah daerah.
Jangan heran bahwa di negara-negara majupun, terjadi pajak yang ebrtumpuk-tumpuk seperti ini. Ada yang menyebutnya GST (Goverment tax) utnuk pemerintah pusat, yang kemudian masih ditambahkan dengan PST (Provincial Tax) atau setara Pemda di Indonesia.
Terimakasih
Edwin